Banyak orang yang bilang bahwa kalau kiyai
itu pasti ustadz, tetapi kalau ustadz belum tentu kiyai.
Benar atau salah keyakinan kebanyakan orang tersebut, mari bersama-sama kita
ketahui definisi dari kedua hal tersebut terlebih dahulu.
Kiyai
Sebutan dan definisi kiyai, yang bukan istilah baku dari
agama Islam, bersifat sangat lokal, mungkin hanya di pulau Jawa bahkan
hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Di Jawa Barat orang
menggunakan istilah Ajengan untuk menyebut orang yang mampu dalam
keilmuan.
Biasanya istilah kiyai juga disematkan kepada orang yang
dituakan, bukan hanya dalam masalah agama, tetapi juga dalam masalah lainnya. Bahkan
benda-benda tua peninggalan sejarah pun sering disebut dengan panggilan kiyai.
Melihat realita ini, panggilan kiayi memang tidak selalu
mencerminkan tokoh agama, apalagi ulama’. Tetapi tidak dapat kita
pungkiri bahwa pada sebagian realita yang lain kiayi selalu
didefinisikan sebagai orang yang mampu secara holistik baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu
Alloh Swt. yang lainnya, yang merepresentasikan sebagai ulama’ yang
benar-benar ulama’, karena pada perkembangannya banyak sekali kiyai-kiyai
dadakan, kiyai yang dibesarkan oleh pasar global, orang yang
dipaksa didandani sebagai kiyai bahkan ada orang yang memaksa orang lain untuk menyebut dirinya sebagai kiyai
dan marah bahkan jatuhnya membenci orang lain ketika orang lain tersebut tidak
menghormati dirinya sebagaimana orang lain itu menghormati kiyai dan masih
banyak yang lainnya.
Ustadz
Sedangkan panggilan ustadz, yang banyak dikonotasikan
kepada agama Islam an sich, hal ini wajar sebab secara genealogis
kata ustadz berasal dari
Bahasa Arab yang diserap ke dalam Bahasa
Indonesia sedang Kristen mempunyai istilahnya sendiri untuk penyebutan orang
yang paham tentang agama yaitu pastor, Budha menyebutnya bikhu,
Yahudi menamainya rabbi dan sebutan-sebutan khas lain dari agamanya
masing-masing. Sekali lagi ustadz biasanya disematkan kepada orang yang
mengajar agama. Arti bebasnya adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai
dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Namun hal itu lebih
berlaku buat kita di Indonesia ini saja.
Istilah ustadz konon walau ada dalam Bahasa Arab, namun bukan
asli dari Bahasa Arab. Di negeri Arab sendiri, istilah ustadz punya
kedudukan yang sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar
profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira
artinya memang profesor di bidang ilmu agama.
Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang
digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekedar guru agama
biasa. Yang lebih parah lagi jika kemudian muncul anggapan bahwa orang yang pakai peci, baju koko atau sarung tak peduli
apakah dia paham atau tidak tentang ajaran Islam disebut juga ustadz.
Atau dengan cara-cara yang kurang lazim memposisikan dirinya sebagai ustadz.
Benang Merah
Dari kedua definisi diatas, ketika kita batasi ruang lingkup
pembahasan ini pada wilayah Indonesia khususnya, maka sebutan ustadz
melekat pada orang yang minimal pakai peci, baju koko dan sarung. Lain halnya dengan
kiyai, sebutan ini ditujukan untuk orang yang mampu dalam keilmuan baik
ilmu agama maupun ilmu yang lain. Tidak salah kiranya bahwa ketika orang
menyebut kiyai itu pasti ustadz tetapi dalam banyak hal ustadz
jauh dari wilayah kiyai.
Kita ambil contoh cerita nyata ketika seseorang ditanya apa bedanya
antara kiyai dan ustadz? Maka seseorang tersebut menjawab dengan
sebuah kenyataan. Orang yang bertanya tersebut diajak ta’ziyah ke
seorang kiyai di Kediri yang kharismatik dan “netral”,
ketika sampai di Kediri maka sang penjawab bertanya kepada orang yang kebetulan
telah selesai mensholatkan sang kiyai. Kata si penjawab, “Sudah berapa kali yai
disholati mas?”. Jawabnya, “Sudah 119 kali pak”. Mendengar jawaban itu sang
penanya terperangah kagum sembari mendengarkan dengan seksama dan penuh
hati-hati atas penjelasan dari sang pencerah bahwa kalau kiyai yang
meninggal, maka umat secara keseluruhan akan merasa kehilangan. Bahwa ketika
seorang ustadz meninggal hanya segelintir orang saja yang akan merasa kehilangan.
Tidak heran juga ketika mantan presiden kita yang keempat, KH.
Abdurrahman Wahid yang kebetulan juga seorang kiyai yang otomatis ustadz
meninggal, maka tidak hanya komunitas Tebuireng saja yang merasa kehilangan,
bahkan sampai Negara Israel yang jelas beda agama saja merasa kehilangan sosok kiyai
yang pluralis ini. Kita sama-sama tahu bagaimana tangisan orang Papua
ketika sang pemimpin yang bisa memimpin yang dilengkapi dengan derajat kiyai
menghembuskan nafas terakhirnya meninggalkan sejuta kenangan yang tidak akan
pernah terlupakan.
Identifikasi diri
Sudah sepantasnya bagi kita mengidentifikasi diri sendiri,
bolehlah kita bertanya pada diri kita, ustadz-kah kita? Kiyai-kah
kita? Setelah kita menemukan jawabannya, tentunya dengan hati dan jiwa yang
bersih dalam menjawab, maka kita yang bukan ustadz apalagi kiyai
sudah seharusnya mengikuti segala apa yang dititahkan oleh ustadz
apalagi kiyai tanpa bermaksud untuk mengkultuskan dua sebutan ini. Jika
kita memang benar-benar tidak mampu atau jikalaupun mampu tidak ada salahnya
jika kita membandingkan jawaban terhadap segala bentuk permasalahan kita kepada
ustadz dan kiyai.
Semoga
Alloh Swt. memberi barokah kepada kita semua atas adanya kiyai-kiyai
yang ditampakkan oleh Alloh Swt. dan kiyai-kiyai yang tidak ditampakkan
karena rahasia-Nya. Amiin. Wallohu ‘alamu bis showab.
No comments:
Post a Comment