Jika kamu
menolong (demi ridlo) Tuhan, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu (QS. Muhammad [47]:7)
Farid Esack, begitulah
masyarakat muslim di Afrika Selatan memanggilnya. Dia adalah perpaduan yang
sempurna dari seorang mujahid (pejuang) dan mujtahid (pembaharu
pemikiran Islam). Sebagai seorang doktor di Bidang Tafsir al-Qur’an dan
mengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dia bukanlah tipe ulama
dan akademisi yang hanya berada diantara tumpukan buku dan kitab-kitab klasik,
tetapi juga memiliki komitmen untuk memperjuangkan problem kemanusiaan yang
menimpa rakyat Afrika Selatan yang waktu itu berada di bawah rezim Apharteid
yang rasis dan represif.
Namun, sebagai
intelektual muslim, dia sangat diakui kepakarannya. Salah satu karya emasnya di
bidang tafsir yaitu Membebaskan Yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberasi,
Pluralisme (Mizan: 2000). Buku ini terbilang baru, karena tidak hanya
menawarkan tafsir sebagai pemahaman belaka, sebagaimana layaknya buku-buku
tafsir lain, melainkan tafsir sebagai perangkat (tool) pembebasan dan
perubahan sosial.
Disamping menawarkan
metodologi tafsir, dalam buku tersebut Farid Esack juga menggambarkan betapa
biadabnya rezim Apharteid. Mereka memperlakukan
warga kulit hitam, keturunan
India dan kulit berwarna secara semena-mena dan represif. Akibat dari rezim
yang diskriminatif dan eksploitatif, tentu saja lapangan pekerjaan bagi warga
kulit hitam sangat sulit. “Kami tidur dengan perut kosong, bangun tanpa ada
yang dapat di makan. Esok hari kami pergi mencari kerja. Dan, jika tak
mendapatkannya, kami pun kembali dengan tangan hampa. Ketika pulang, kami
mencari-cari di kotak sampah, ‘Adakah yang kebetulan terlempar ke sini, sesuatu
yang kira-kira bisa kukunyah?”. Begitulah Farid mengenang tentang
carut-marutnya kehidupan di masa mudanya (Mizan, 2000:24)
Untung saja, dia
diselamatkan oleh tetangganya yang beragama Kristen, yang dengan setia
memberinya semangkuk gula dan tempat berbagi derita. Selain itu, dia sering
dibantu oleh Tuan Frank, seorang tukang kredit berdarah Yahudi dan seorang
gadis Baha’i. Keduanya telah membantunya memperpanjang waktu pembayaran
pinjaman.
Dari sini, lalu
Farid mulai merefleksikan ajaran keislaman yang sudah menghujam dalam dirinya
sejak kecil. Dia meyakini, pemeluk agama lain mempunyai nilai-nilai yang sama
dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan dia langsung mengutip
sebuah ayat: Jika kamu menolong (demi ridlo) Tuhan, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad [47]:7.
Menurut Farid,
setiap agama mempunyai nilai-nilai yang sama guna mengangkat harkat dan
martabat manusia dari keterpurukan dan penindasan. Dia mulai sadar, bahwa yang
menjadi problem mendasar bagi masyarakat Afrika Selatan sebenarnya bukan
keragaman pemeluk agama, melainkan rezim Apharteid yang seringkali menunggangi berbagai
organisasi keagamaan untuk menciptakan ketegangan antar agama. Karenanya, Farid
mulai berfikir untuk mewujudkan solidaritas antar agama yang bertujuan melawan kezaliman
rezim Apharteid. Melalui organisasi Call of Islam dan World
Conference on Religion and Peace, dia bersama kelompok agama lain
menggalang solidaritas untuk bersatu melawan rezim Apharteid. Bahwa kemudian
rezim Apharteid runtuh dan tercapai kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
pluralis, humanis dan inklusif, tidak bisa dilepaskan dari apa yang dilakukan
Farid Esack melalui Call of Islam dan World Conference on Religion
and Peace.
Perjalanan singkat
seorang Farid Esack menjelaskan, bahwa keberagaman adalah pergulatan antara
doktrin dan realitas. Tatkala agama diturunkan dari langit ke muka bumi, sudah
barang tentu meniscayakan peran agama yang berbeda. Agama secara langsung
berinteraksi dengan konteks sosio-kultural masyarakat. Pengalaman Afrika
Selatan membuktikan ‘itikad baik setiap agama, baik Kristen, Hindu dan Yahudi
terlebih lagi Islam untuk bersatu melawan penindasan yang dipimpin oleh rezim
Apharteid. Agama memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan perubahan demi
kemaslahatan masyarakat secara umum. Menurut Farid, mandegnya peran
transformatif agama-agama karena dua hal: Pertama, interfensi politik
dalam agama sebagaimana dilancarkan rezim Apharteid. Kedua, pemaknaan
tunggal terhadap doktrin-doktrin keagamaan.
Selama ini, Islam
selalu dimaknai sebagai kebenaran absolut dengan menafikan eksistensi agama
lain. Akibatnya, yang menonjol dari Islam hanya keunggulan sebagai doktrin
langit, tetapi terasa kurang memiliki semangat transformatif.
Karena itu, Farid
Esack menyerukan agar Islam dimaknai sebagai wahyu progresif. Pandangan ini
diilhami dari ulama’ kesohor seperti Rasyid Ridho, al-Rozi dan al-Zamakhsyari. Menurut
ketiga ulama tersebut, Islam berarti keadilan, kesetaraan, ketundukan,
kedamaian dan kepasrahan. Islam memberikan dorongan moril bagi pemeluknya untuk
membumikan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah masyarakat dan melawan segala
bentuk hal yang menghambat keadilan dan keadaban. Wallohu ‘Alamu bis Showab.

No comments:
Post a Comment