Wednesday, July 4, 2012

Islam adalah Pembebasan





Jika kamu menolong (demi ridlo) Tuhan, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad [47]:7)




Farid Esack, begitulah masyarakat muslim di Afrika Selatan memanggilnya. Dia adalah perpaduan yang sempurna dari seorang mujahid (pejuang) dan mujtahid (pembaharu pemikiran Islam). Sebagai seorang doktor di Bidang Tafsir al-Qur’an dan mengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dia bukanlah tipe ulama dan akademisi yang hanya berada diantara tumpukan buku dan kitab-kitab klasik, tetapi juga memiliki komitmen untuk memperjuangkan problem kemanusiaan yang menimpa rakyat Afrika Selatan yang waktu itu berada di bawah rezim Apharteid yang rasis dan represif.

Namun, sebagai intelektual muslim, dia sangat diakui kepakarannya. Salah satu karya emasnya di bidang tafsir yaitu Membebaskan Yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberasi, Pluralisme (Mizan: 2000). Buku ini terbilang baru, karena tidak hanya menawarkan tafsir sebagai pemahaman belaka, sebagaimana layaknya buku-buku tafsir lain, melainkan tafsir sebagai perangkat (tool) pembebasan dan perubahan sosial.

Disamping menawarkan metodologi tafsir, dalam buku tersebut Farid Esack juga menggambarkan betapa biadabnya rezim Apharteid. Mereka memperlakukan
warga kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna secara semena-mena dan represif. Akibat dari rezim yang diskriminatif dan eksploitatif, tentu saja lapangan pekerjaan bagi warga kulit hitam sangat sulit. “Kami tidur dengan perut kosong, bangun tanpa ada yang dapat di makan. Esok hari kami pergi mencari kerja. Dan, jika tak mendapatkannya, kami pun kembali dengan tangan hampa. Ketika pulang, kami mencari-cari di kotak sampah, ‘Adakah yang kebetulan terlempar ke sini, sesuatu yang kira-kira bisa kukunyah?”. Begitulah Farid mengenang tentang carut-marutnya kehidupan di masa mudanya (Mizan, 2000:24)

Untung saja, dia diselamatkan oleh tetangganya yang beragama Kristen, yang dengan setia memberinya semangkuk gula dan tempat berbagi derita. Selain itu, dia sering dibantu oleh Tuan Frank, seorang tukang kredit berdarah Yahudi dan seorang gadis Baha’i. Keduanya telah membantunya memperpanjang waktu pembayaran pinjaman.

Dari sini, lalu Farid mulai merefleksikan ajaran keislaman yang sudah menghujam dalam dirinya sejak kecil. Dia meyakini, pemeluk agama lain mempunyai nilai-nilai yang sama dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Bahkan dia langsung mengutip sebuah ayat: Jika kamu menolong (demi ridlo) Tuhan, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad [47]:7.

Menurut Farid, setiap agama mempunyai nilai-nilai yang sama guna mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukan dan penindasan. Dia mulai sadar, bahwa yang menjadi problem mendasar bagi masyarakat Afrika Selatan sebenarnya bukan keragaman pemeluk agama, melainkan rezim Apharteid yang seringkali menunggangi berbagai organisasi keagamaan untuk menciptakan ketegangan antar agama. Karenanya, Farid mulai berfikir untuk mewujudkan solidaritas antar agama yang bertujuan melawan kezaliman rezim Apharteid. Melalui organisasi Call of Islam dan World Conference on Religion and Peace, dia bersama kelompok agama lain menggalang solidaritas untuk bersatu melawan rezim Apharteid. Bahwa kemudian rezim Apharteid runtuh dan tercapai kehidupan beragama dan bermasyarakat yang pluralis, humanis dan inklusif, tidak bisa dilepaskan dari apa yang dilakukan Farid Esack melalui Call of Islam dan World Conference on Religion and Peace.

Perjalanan singkat seorang Farid Esack menjelaskan, bahwa keberagaman adalah pergulatan antara doktrin dan realitas. Tatkala agama diturunkan dari langit ke muka bumi, sudah barang tentu meniscayakan peran agama yang berbeda. Agama secara langsung berinteraksi dengan konteks sosio-kultural masyarakat. Pengalaman Afrika Selatan membuktikan ‘itikad baik setiap agama, baik Kristen, Hindu dan Yahudi terlebih lagi Islam untuk bersatu melawan penindasan yang dipimpin oleh rezim Apharteid. Agama memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan perubahan demi kemaslahatan masyarakat secara umum. Menurut Farid, mandegnya peran transformatif agama-agama karena dua hal: Pertama, interfensi politik dalam agama sebagaimana dilancarkan rezim Apharteid. Kedua, pemaknaan tunggal terhadap doktrin-doktrin keagamaan.

Selama ini, Islam selalu dimaknai sebagai kebenaran absolut dengan menafikan eksistensi agama lain. Akibatnya, yang menonjol dari Islam hanya keunggulan sebagai doktrin langit, tetapi terasa kurang memiliki semangat transformatif.

Karena itu, Farid Esack menyerukan agar Islam dimaknai sebagai wahyu progresif. Pandangan ini diilhami dari ulama’ kesohor seperti Rasyid Ridho, al-Rozi dan al-Zamakhsyari. Menurut ketiga ulama tersebut, Islam berarti keadilan, kesetaraan, ketundukan, kedamaian dan kepasrahan. Islam memberikan dorongan moril bagi pemeluknya untuk membumikan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah masyarakat dan melawan segala bentuk hal yang menghambat keadilan dan keadaban. Wallohu ‘Alamu bis Showab.

No comments:

Post a Comment