Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada tahun 60-an, Bung Karno melemparkan gagasan akan mendirikan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong) yang langsung mendapat dua respon dari Nahdlatul Ulama (NU). Rais Aam waktu itu, almarhum KH. A. Wahab Chasbullah langsung menerima gagasan itu. Ia mengatakan, jika NU tidak mengisi “lowongan” dalam lembaga tersebut, maka pembuatan Undang-Undang akan dimonopoli oleh PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada masa itu, PNI mempunyai para anggota yang dianggap “anti santri” dari sayap Hadisubeno maka jelas sekali NU harus berjuang dengan susah payah untuk mempertahankan “identitas kesantrian”. Sedangkan Wakil Rais Aam KH. M. Bisri Syansuri, yang notabene adalah iparnya, justru menolak gagasan itu. Menurut Kyai kita itu, DPR yang baru saja dibubarkan oleh Bung Karno adalah hasil dari pemilu 1955. Kalau akan diganti, haruslah oleh DPR baru hasil pemilu juga, bukan buatan Bung Karno. Apa yang direncanakan Bung Karno itu, dalam pandangannya adalah ghashab (perbuatan mencuri), yang bagaimanapun juga tidak dapat diterima akal sehat. Suasana menjadi “macet” gara-gara pendapat kyai kita yang berasal dari Tayu (Pati) ini. Karena pendirian itu merupakan sebuah “tradisi NU”, yaitu mendasarkan segala macam sikap pada fiqh (hukum Islam). Akhirnya, gagasan DPR-GR itu dipaksakan oleh Bung Karno. Ibu penulis, yaitu anak perempuan KH. Bisri Syansuri menentang pendapat ayahnya, dan mengikuti pandangan KH. A. Wahab Chasbullah. Walaupun demikian mereka bertiga hidup damai hingga ketiganya meninggal dunia dalam paruh kedua abad ke-20 Masehi. Mengapa? Karena walaupun mereka berbeda pendapat, namun tetap berpegang pada fatwa fiqh yang memperkenankan adanya perbedaan tetapi melarang perpecahan.
Penulis sangat berbahagia, memiliki orang tua, kakek dari ibu dan pak de yang demikian berbeda dalam pandangan, namun demikian erat bergaul satu sama lain, sebagai anggota keluarga. Bukankah ini yang harus diperjuangkan habis-habisan selama kita hidup di dunia? Ketiga beliau itu adalah “orang-orang dewasa” yang tidak menghalangi munculnya perbedaan pandangan diantara mereka sendiri. Penulis tidak tahu, manakah dari ketiga kategori yang dirumuskan almarhum KH. Ahmad Siddiq, yang dikemukakan dalam
Muktamar NU ke-28 di Pondok Pesantren Al-Munawir di Yogyakarta, selaku Ra’is A’am PBNU akhir tahun 1984, yang digunakan dalam hal ini: Ukhuwah Nahdliyah (persaudaraan NU), Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) ataukah Ukhuwah Insaniyyah (persaudaraan sesama manusia)?.“Kekayaan” warisan seperti inilah yang menghinggapi bangsa kita di masa lampau, yang sekarang justru terancam karena “perbedaan kepentingan’ diantara para anggota elite politik kita saat ini yang harus disayangkan. Penulis teringat kepada J. Kasimo, yang sebelum meninggal tahun-tahun 60-an adalah Ketua Umum Partai Katholik di negeri kita, mencarikan rumah tempat tinggal bagi Prawoto Mangkusasmito, yang pada waktu itu tahun 50-an adalah wakil Ketua Partai Islam Masyumi, yang menuntut adanya “negara Islam” di bumi pertiwi ini. Walaupun terjadi perbedaan pandangan demikian tajam antara mereka, tidak menghalangi tumbuhnya hubungan pribadi yang sangat erat antara keduanya. Inilah apa yang oleh Mpu Tantular disebut sebagai kebhinekaan (keragaman) antara kita.
Pendapat Mpu Tantular tersebut, pada akhirnya digunakan sebagai motto kehidupan kita sebagai bangsa oleh para pendiri bangsa dan negara kita ”Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap tunggal/menjadi satu. Bahwa kita mendirikan negara dengan “kekayaan budaya” seperti itu, menunjukkan bahwa para pendiri negara dan bangsa kita sejak semula memahami bahwa perbedaan kultural dan sebagainya merupakan ciri khas kita sebagai bangsa. Para pendiri (founding fathers) negara kita sangat percaya kepada sikap hidup saling berbeda itu, yang oleh mendiang Ir. Soekarno, dengan meminjam istilah filosof Prancis Ernest Renan yaitu raison d’ etre dirumuskan sebagai “perbedaan yang menjadi rahmat” bagi kita. Masihkah kita memiliki sikap hidup seperti ini yang membentuk kesatuan kita?
****
Fiqh (hukum Islam) adalah perangkat legal yang untuk waktu lama diterapkan oleh berbagai “kerajaan Islam” di negeri kita pada waktu-waktu lampau. Kemudian ia menjadi “hukum kanonik” yang digunakan bangsa kita. Setelah menjadi negara Republik Indonesia sejak tahun 1945, walaupun tidak lagi memiliki “kekuatan legal” yang mengikat kita secara formal/resmi, ia tetap menjadi “kekuatan moral” yang membentuk sikap-sikap mayoritas bangsa. Dalam kerangka seperti inilah kita saksikan peranan fiqh tidak lalu mati, melainkan “menciut” dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Sesuatu yang tadinya mengikat secara legal, akhirnya mengikat kita secara budaya selaku “kekuatan moral”.
Kalau kita pahami ini dengan baik, kita tidak akan menganggap “jawaban’ KH. Abdullah Faqih (dari Pondok Pesantren Langitan di Widang, Tuban) sebagai sesuatu yang bersifat politis, melainkan keputusan fatwa fiqih, yang dengan sendirinya memperkaya kehidupan kita secara budaya. Namun hal ini ternyata tidak dimengerti oleh Hasyim Muzadi, tokoh pesantren yang kemudian menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) selaku calon presiden RI. Terus terang, penulis tidak mengerti/memahami sikap Ketua Umum PBNU, yang oleh Rais Aam PBNU KH. A.M Sahal Mahfudz, sesuai AD/ART NU sebagai organisasi di luar politik dinyatakan non-aktif itu. Kalau memahami “kenyataan” sesederhana ini saja ia tidak mampu, bagaimanakah ia akan mengerti seluk beluk kehidupan bernegara yang harus “dikuasai” oleh para pemimpin negara kita di masa-masa peralihan menuju demokrasi di masa-masa mendatang yang dekat ini? Hal inilah yang merisaukan hati dan pikiran penulis yang tentu saja juga “dirasakan” oleh banyak orang lain.
Kalau kita pahami ini dengan baik, kita tidak akan menganggap “jawaban’ KH. Abdullah Faqih (dari Pondok Pesantren Langitan di Widang, Tuban) sebagai sesuatu yang bersifat politis, melainkan keputusan fatwa fiqih, yang dengan sendirinya memperkaya kehidupan kita secara budaya. Namun hal ini ternyata tidak dimengerti oleh Hasyim Muzadi, tokoh pesantren yang kemudian menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) selaku calon presiden RI. Terus terang, penulis tidak mengerti/memahami sikap Ketua Umum PBNU, yang oleh Rais Aam PBNU KH. A.M Sahal Mahfudz, sesuai AD/ART NU sebagai organisasi di luar politik dinyatakan non-aktif itu. Kalau memahami “kenyataan” sesederhana ini saja ia tidak mampu, bagaimanakah ia akan mengerti seluk beluk kehidupan bernegara yang harus “dikuasai” oleh para pemimpin negara kita di masa-masa peralihan menuju demokrasi di masa-masa mendatang yang dekat ini? Hal inilah yang merisaukan hati dan pikiran penulis yang tentu saja juga “dirasakan” oleh banyak orang lain.
Setiap hari, kaum muslimin banyak yang harus “menghadapi” pertanyan-pertanyaan fiqh seperti itu, yang dalam “bahasa” NU dinamai Bahtsul Masa’il (pembahasan masalah), yang diselenggarakan secara rutin di berbagai tingkatan, dari ranting hingga ke Muktamar (Mu’-tamar) yang diselenggarakan dewasa ini tiap lima tahun sekali. “Kekayaan budaya” seperti inilah yang sudah berlangsung semenjak NU lahir pada tahun 1926, berarti lebih dari tujuh puluh lima tahun yang lalu. Memang, PBNU -termasuk ketika di bawah pimpinan penulis selama enam belas tahun lamanya sebagai Ketua Umum PBNU (dari akhir 1984 hingga 2000) “lalai” untuk tidak menterjemahkan keputusan-keputusan forum tersebut ke dalam bahasa nasional kita. Akibatnya, “kekayaan budaya ini” tidak dikenal oleh bangsa kita sebagai bangsa, kita lalu menghadapi “kerugian budaya” di masa-masa sulit sekarang ini.
Salah sebuah bentuk “kerugian budaya” yang diderita bangsa kita dewasa ini, adalah anggapan bahwa sebuah fatwa fiqh dapat “dibaca” sebagai sesuatu yang politis. Apalagi kalau fatwa fiqh itu dikeluarkan oleh seorang Ahl al-Ifta (orang yang berkompetensi mengeluarkan fatwa), yang kemudian harus disahkan sebagai keputusan organisasi/NU, seperti yang dikeluarkan oleh KH. Abdullah Faqih itu. Inilah yang harus kita pahami dari “kejadian” di atas, yang memperlihatkan bagaimana kehidupan bangsa dan negara ini harus diatur, baik secara formal (resmi) melalui jalur legal, maupun non-formal (tidak resmi) melalui “jalur budaya”. Hal ini merupakan “kenyataan sejarah” yang seharusnya dimengerti oleh para pemimpin bangsa kita. Namun hal ini mudah dinyatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?
Jakarta, 11 Juni 2004
betul sekali itu
ReplyDeletemungkin semua itu akan menjadi pekerjaan rumah kita sebagai penerus muda
dan akan tetap berprinsip walaupun berbeda akan tetapi tidak membuat kita pecah karena dengan perpecahan itu musuh-musuh Alloh akan berpesta ria
Karena hal itulah yang mereka inginkan
semoga kita benar-benar bisa memandang perbedaan sebagai sebuah rahmat
ReplyDeleteامن يارب العالمين
ReplyDelete