Friday, November 18, 2011

Santun Berbahasa

Bahasa dan praktik berbahasa banyak terkait dengan faktor sosial, psikologis, filosofis, kultural bahkan biologis. Budaya suatu masyarakat terungkap jelas melalui praktik bahasanya; pemilihan kata, gaya berbahasa, intonasi, nada bahkan gerak tubuh ketika aktifitas berbahasa, semuanya menyiratkan makna yang berbeda-beda kendati manusia bebas berbahasa. Dalam kenyataannya berbahasa terkait dengan siapa, dimana, kapan dan dengan target apa. Kesopanan dan kesantunan seseorang lantas sering diukur dengan bagaimana dia berbahasa.
Dalam setiap perbincangan, kita sering menyaksikan berbagai peristiwa yang terjadi berdasarkan konteks budaya yang kita hadapi. Kita bercakap-cakap melalui kalimat atau ujaran. Kita bisa menggolongkannya kedalam koridor kalimat dengan pendekatan fungsional antara pernyataan, pertanyaan dan pengukuhan. Austin menyebut dua hal tentang ujaran yang berhubungan dengan kejadian tertentu dalam situasi nyata. Dalam ungkapan formatif seseorang tidak hanya berkata sesuatu tetapi pada dasarnya bertujuan sesuatu jika situasinya memungkinkan bertemu. Bagaimanapun, perbincangan dalam sebuah percakapan pasti merefleksikan tujuan atau bentuk omongan. Bentuk dan tujuan inilah yang sangat menarik untuk diketahui.

Menurut Searle (1969: 2770), kita dapat mengklasifikasikan sekurang-kurangnya tiga macam perbedaan tindakan atau act ketika kita berbicara. Tiga hal itu adalah
Locutionary Act, Illocutionary Act dan Perlocutionary Act. Locutionary Act adalah bagian tindakan pengujaran kata bahasa, sebuah diskripsi tentang apa yang pembicara katakan. Sedang dampak dalam ujaran adalah bagian Illocutionary Act seperti; bujukan, mempermalukan, menakuti, menyedihkan atau memberikan inspirasi pada pendengar. Illocutionary Act ialah apa yang pembicara maksudkan dengan ujaran tersebut. Yang juga termasuk Illocutionary Act adalah pernyataan, perjanjian, permintaan maaf, menakuti, perintah dan permohonan. Sedangkan Perlocutionary Act adalah dampak yang tertuju pada pendengar tentang apa yang pembicara katakan.
Berbeda dengan Searle, sosiolinguis yang bernama Dell Hymes mengembangkan Model Speaking untuk analisa wacana sebagai bagian dari cakupan speech events atau speech act kedalam jalur konteks budaya atau situasi nyata. Kesemuanya ini kelihatan seperti catatan awal komponen cara berbicara; beberapa katagorinya sangatlah produktif dan berkekuatan ketika dianalisa. Kita bisa menggunakan model ini untuk menganalisa berbagai wacana yang berbeda.
Model inilah yang bisa diaplikasikan pada berbagai macam wacana yang berbeda, khususnya pada studi yang akan penulis lakukan dan penulis konsentrasikan : Setting dan Scene, Participants, Ends, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms dan yang terakhir adalah Genre (Hymes : 55)
Studi ini akan terfokus pada gaya perilaku berbahasa ustadz Bahasa Arab di kelas MTs dan MA Darul Muta’allimin Sugihwaras Patianrowo Nganjuk Jawa Timur. Seperti kita ketahui, ketika pembahasan pelajaran berjalan sering kita temukan ujaran khusus yang digunakan oleh tenaga pengajar dalam mengungkapkan ide mereka. Kemudian sebuah situasi juga digambarkan, karena apapun ketika sebuah pembahasan sedang berlangsung secara formal sering terlihat berbagai macam gaya berbeda yang muncul dari obyek didik dalam menerima pendidikan. Tentunya beberapa kasus lain juga akan teranalisa sebagai pendukung studi ini.
Perilaku berbahasa pendidikan ini sebagai salah tujuan dari kelas khusus MTs dan MA Darul Muta’allimin Sugihwaras Patianrowo Nganjuk Jawa Timur yang mengindikasikan santun bahasa yang dilakukan oleh Asatidzah akan membawa siswa kelas khusus ke jenjang berbahasa yang lebih baik dibawah alam sadar mereka melalui metode uswah hasanah (contoh bagus). Disamping pengembangan pengetahuan siswa kelas khusus terhadap kaidah-kaidah baca tulis huruf Al Qur’an sekaligus makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, pun juga meningkatkan akhlaq serta kreatifitas siswa kelas khusus dengan daya imajinatif tinggi dibawah payung Islam.

No comments:

Post a Comment